Mencari Pahlawan Indonesia (01)
![]() |
foto doc: dakwatuna.com |
O, Pahlawan Negeriku ( Seri 01)
Di masa pembangunan ini”, kata Chairil Anwar mengenang Diponegoro, “Tuan hidup kembali. Dan bara kagum menjadi api”.
Kila selalu berkata jujur kepada nurani kita ketika kita melewati
persimpangan jalan sejarah yang curam. Saat itu kita merindukan
pahlawan. Seperti Chairil Anwar tahun itu, 1943, yang merindukan
Diponegoro. Seperti juga kita saat ini. Saat ini benar kita merindukan
pahlawan itu. Karena krisis demi krisis telah merobohkan satu per satu
sendi bangunan negeri kita. Negeri ini hampir seperti kapal pecah yang
tak jemu-jemu dihantam gunungan ombak.
Di tengah badai ini kita merindukan pahlawan itu. Pahlawan yang, kata Sapardi, “telah berjanji kepada sejarah untuk pantang menyerah”. Pahlawan yang, kata Chairil Anwar, “berselempang semangat yang tak bisa mati.” Pahlawan yang akan membacakan “Pernyataan” Mansur Samin:
Di tengah badai ini kita merindukan pahlawan itu. Pahlawan yang, kata Sapardi, “telah berjanji kepada sejarah untuk pantang menyerah”. Pahlawan yang, kata Chairil Anwar, “berselempang semangat yang tak bisa mati.” Pahlawan yang akan membacakan “Pernyataan” Mansur Samin:
Demi amanat dan beban rakyat
Kami nyatakan ke seluruh dunia
Telah bangkit di tanah air
Sebuah aksi perlawanan
Terhadap kepalsuan dan kebohongan
Yang bersarang dalam kekuasaan
Orang-orang pemimpin gadungan
Maka datang jugalah aku ke sana, akhirnya. Untuk kali pertama. Ke
Taman Makam Pahlawan di Kalibata. Seperti dulu aku pernah datang ke
makam para sahabat Rasulullah saw di Baqi’ dan Uhud di Madinah. Karena
kerinduan itu. Dan kudengar Chairil Anwar seperti mewakili mereka:
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Tulang-tulang berserakan itu. Apakah makna yang kita berikan kepada
mereka? Ataukan tak lagi ada wanita di negeri ini yang mampu melahirkan
pahlawan? Seperti wanita-wanita Arab yang tak lagi mampu melahirkan
lelaki seperti Khalid bin Walid? Ataukah tak lagi ada ibu yang mau,
seperti kata Taufiq Ismail di tahun 1966, “Merelakan kalian pergi
berdemonstrasi..Karena kalian pergi menyempurnakan..Kemerdekaan negeri
ini.”
Tulang belulang berserakan itu. Apakah makna yang kita berikan kepada
mereka? Ataukah, seperti kata Sayyid Quthub, “Kau mulai jemu berjuang,
lalu kau tanggalkan senjata dari bahumu?”
Tidak! Kaulah pahlawan yang kurindu itu. Dan beratus jiwa di negeri
sarat nestapa ini. Atau jika tidak, biarlah kepada diriku saja aku
berkata: jadilah pahlawan itu.
sumber: buku, Mencari Pahlawan Indonesia
Tidak ada komentar
Posting Komentar